Blogroll

Pages

Monday, May 4, 2015

TOKOH PERGERAKAN NASIONAL PEREMPUAN

SITI MANGGOPOH

siapa itu siti manggopoh,, dan apa anilnya dalam pergerakan perjuangan bangsa check it out..

        Siti Manggopoh (lahir di Manggopoh, Agam, Hindia Belanda, tahun 1880 - meninggalnya di Gasan Gadang, Padang Pariaman, Sumatera Barat, tahun 1965 pada umur 85 tahun) merupakan seorang pejuang perempuan dari Manggopoh, Lubuk Basung, Agam.Ia juga pernah mengobarkan perlawanan nh, kawan. terhadap kolonialis Belanda dalam perang yang dikenal sebagai Perang Belasting( keren euy namanya)artinya pajak.

     Pada tahun 1908, Siti ini melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau, karena tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau. Pada tanggal 16 Juni 1908, Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini, sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh. Perang ini kemudian dinamai Perang Belasting.

Dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Sebagai perempuan, Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka.

Ia pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain. Namun ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat.

Perang belasting merupakan perang bersenjata pada 15-16 Juni 1908 yang melibatkan rakyat Sumatera Barat melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda akibat penerapan pajak (bahasa Belanda: belasting) langsung kepada masyarakat. Perlawanan masyarakat atas pemberlakuan pajak langsung ini dibalas oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan reaksi keras mengirimkan marechaussee (marsose) ke daerah konflik tersebut, yang akhirnya menimbulkan korban jiwa pada masyarakat maupun tentara kolonial.

Perang belasting ini diawali di Kamang, kemudian menyebar pada kawasan lain seperti Manggopoh, Lintau Buo dan lain-lain.

MARIA MARAMIS

lalu,, siapa maria maramis ini?

Maria Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 – meninggal di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun), atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".

JOHANNA MASDANI

ada juga johanda masdani nih,, siapa ya?


Johanna Masdani (lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta), adalah seorang pahlawan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan dengan nama Johanna Tumbuan. Sebagai aktivis pemuda-pemudi menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Assaat, dll. Ia pun bertemu dengan Masdani, juga seorang tokoh pergerakan yang kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967.

Saksi sejarah
Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dan turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat.

Selain itu, Jo -- demikian ia biasa dipanggil -- juga menjadi seorang saksi sejarah detik-detik Proklamasi Indonesia yang dilakukan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945. Ia juga ikut serta menyusun konsep pembangunan Tugu Proklamasi yang sederhana di depan rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur (kini Jl. Proklamasi) no. 56, Jakarta. Tugu ini kemudian dibongkar oleh Bung Karno, namun dibangun kembali pada tahun 1980-an.

Perjuangan
Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia.

Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, "Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta."

Di alam kemerdekaan, Jo menjadi mahasiswa psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Setelah lulus dari alma maternya, Jo mengabdikan diri sebagai dosen psikiatri sejak 1961. Pada tahun 1970-an, ia sempat pula mengambil pendidikan lanjutan di Amerika Serikat dan Inggris.

Penghargaan
Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1953 ia memperoleh medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia dari Menteri Pertahanan Keamanan Ali Sastroamidjojo. Pada 1958 ia mendapat Bintang Satya Gerilya dari Presiden Soekarno. Pada tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, ia mendapat Bintang Satya Lencana Penegak. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama pada tahun 1998 dari Presiden B.J. Habibie. Secara keseluruhan, Jo mendapat delapan bintang dari Pemerintah RI.

Jo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2006.

0 comments:

Post a Comment